Keindahan di Ketinggian 2200 Mdpl

Telaga Dringo

Telaga Dringo

Malam itu saya sedikit terkejut menerima mention dari seorang teman di twitter, lebih tepatnya teman kost yang kamarnya berjarak dua kamar setelah kamar saya. Setelah di tengok ternyata dia ngeretweet tweet dari Dieng Culture Fest dan di mention ke saya yang berisi foto sebuah telaga yang awalnya saya pikir itu adalah Ranu Kumbolo. Spontan saya langsung ke kamarnya pada saat itu juga dan ternyata itu bukan Ranu Kumbolo melainkan telaga Dringo. Saya kaget, lalu kembali memperhatikan foto tersebut walaupun sedikit tidak percaya. Teman saya itu, sebut saja Nanda menjelaskan bahwa dia dulu pernah ke telaga Dringo dan masih ingat rute menuju kesana, tempatnya di daerah dataran tinggi Dieng, lebih tepatnya di perbatasan Batang dan Banjarnegara. Tanpa pikir panjang saya mengajak dia untuk camping disana dan dia pun bertanya “siapa aja prof?”, saya tertawa dan menjawab “manut, berdua juga gak apa-apa yang penting nyampe.. hahaha…”. Kami pun sepakat berangkat sekitar satu minggu kemudian yaitu tanggal 5 April 2014. Berhubung itu adalah awal bulan, jadi anak kost macam kami keuangan lagi tebel. Hahaha…

Tiga hari sebelum berangkat kami telah mempersiapkan beberapa peralatan standar untuk camping seperti tenda, sleeping bag, matras, peralatan memasak, logistik, peralatan pribadi, headlamp, dll. Lantas bagaimana dengan transportasi? Kami berangkat dengan menggunakan sepeda motor matic pribadi yang kami rasa sudah cukup teruji secara klinis untuk medan seperti jalan raya Dieng. Hahahahaha…

Hari itu pun tiba, puji Tuhan Jogja langitnya sumringah. Alam seakan memberikan tanda bahwa kami diijinkan untuk berangkat. Sebentar mengecek lagi peralatan yang akan dibawa dan menghitung lagi rute serta jam tempuh perjalanan maka tepat pukul 9.30 pagi kamipun fix meninggalkan Jogja menuju arah barat laut.

Kami melewati jalan raya Borobudur – Sapuran – Pasar Kertek – Winongsari – Kaliwiro – Wonosobo, karena alasan rute tersebut sedikit lebih cepat ketimbang melewati Semarang atau Temanggung terlebih dahulu kemudian ke Wonosobo. Sialnya, kami lupa bahwa tanggal 5 Juli itu adalah empat hari sebelum pemilu yaitu tanggal 9 Juli 2014. Alhasil, baru memasuki daerah Magelang saja kami sudah mulai menemui beberapa konvoi partai. Awalnya kami rasa konvoi tersebut tidak menjadi masalah karena hanya sekumpulan anak muda dengan menggunakan atribut partai yang mereka dukung. Tapi kemudian keadaan berubah setelah Negara api menyerang!!!! Hahahaha, motor-motor dengan menggunakan knalpot kaleng bekas dan memekakan telingan pun berdatangan, warna warni bendera konvoi dengan macam-macam partai membuat jalan terlihat sempit. Entah apa yang mereka pikirkan, peserta konvoi sepertinya tidak perduli dengan sekitarnya atau dengan polusi udara yang mereka timbulkan. Sedikit yang saya amati, para peserta juga ternyata tidak menggunakan helm untuk menjaga keselamatan berkendara dan polantas yang berada di pinggir jalan, mereka diam saja tanpa menghiraukan hal tersebut. Lucu!

Tidak hanya sampai disitu, setelah kami memasuki daerah Sapuran kami terpaksa berhenti sejenak dikarenakan macetnya jalan akibat konvoi partai. Astaga, saya ingat si Komo tahun 90-an, cukup wajar rasanya. Hahahaha… Namun yang membuat kami sedikit tertawa, kami melihat partai merah dan partai hijau berselisihan di jalan dan hampir terjadi bentrok karena perbedaan warna.

Setelah dirasa cukup memungkinkan untuk melanjutkan perjalanan, kamipun berangkat. Sekitar pukul 12.30 kami tiba di alun-alun Wonosobo. Kami sepakat mengambil istirahat sejenak untuk sekedar minum atau mengambil beberapa foto lalu kembali melanjutkan perjalanan. Dari Wonosobo, jalan menuju ke Dieng cukup mudah dikarenakan banyak tanda jalan yang dapat kita temui di sepanjang jalan raya Dieng – Wonosobo.

Sekitar 25 kilometer kami tempuh, kami mendapati pos retribusi pengunjung kawasan wisata Dieng dengan tarif Rp. 2000,- dan kami juga mendapatkan fotocopy-an peta kota Wonosobo dan Dieng, gambarnya memang tidak terlalu jelas namun cukup membantu untuk mengetahui lokasi dimana kita berada.

Pukul 15.00 kami di tiba di Dieng, udara disana sangat nyaman dan dingin namun karena kami sudah beberapa kali ke tempat itu maka rasanya tidak sedingin ketika pertama kali. Kami memutuskan untuk mengisi perut sejenak di sebuah warung sekitaran Candi Arjuna (maaf, saya lupa nama warungnya). Warung tersebut adalah rekomendasi dari salah seorang teman, dia bilang bahwa itu adalah warungnya backpacker. Saya rasa cukup masuk akal sebab kami hanya membayar Rp. 21.000,- untuk dua piring nasi beserta lauk pauknya, dua gelas teh panas, dan dua bungkus nasi untuk bekal makan nanti malam.

Terasering di perbukitan Dieng

Terasering di perbukitan Dieng

Perjalanan kami lanjutkan tepat pukul 16.00, tanjakan dan turunan yang curam mulai terasa dari yang awalnya motor kami mampu melaju kencang kemudian hanya bisa menanjak dengan kecepatan 20 km/h saja. Beberapa kali kami sempat berhenti untuk mengambil foto, rasanya mubazir jika pemandangan di dataran tinggi Dieng yang kami temukan di perjalanan tidak sempat kami abadikan apalagi waktu itu cuaca sangat cerah sehingga perkebunan dan bukit-bukit hijau serta dipenuhi terasering bisa kami pandangi dengan sangat jelas.

Sekitar 30 menit kami tiba di sebuah persimpangan di daerah Batur yang mengantarkan kami menuju telaga Dringo kamudian mengikuti jalan ke arah Batang hingga sampai di desa Gerlang dan masuk ke pertigaan tepat di depan SD Negeri 1 Gerlang yang menuju ke desa Wonoprio. Setelah itu masuk desa Mojotengah Kecamatan Reban Kabupaten batang yang berbatasan dengan Kabupaten Banjarnegara. Di beberapa titik kadang kami merasa kurang yakin hingga akhirnya bertanya rute pada warga setempat. Sebenarnya jalan menuju telaga Dringo tidak amat jauh namun dikarenakan kondisi jalan yang sangat parah disertai tanjakan, turunan, serta tikungan yang cukup berbahaya akhirnya perjalanan pun semakin memakan waktu serta menguras persediaan pantat yang mulai menipis.

Orang ketiga, yang katanya teruji secara klinis :D

Orang ketiga, yang katanya teruji secara klinis 😀

Sekilas jalan di desa Gerlang

Sekilas jalan di desa Gerlang

Kabut turun di perbukitan

Kabut turun di perbukitan

Di beberapa medan, tidak jarang saya harus berjalan kaki karena motor yang kami gunakan tidak mampu mendaki dengan membawa beban sebanyak dua manusia. Hahahaha… Namun menilik kondisi jalan yang hanya berupa bebatuan serta masih banyaknya lubang kamipun berasumsi “kalo kondisi jalan sangat parah, otomatis tempat tujuan pasti jarang dikunjungi manusia, otomatis juga pasti keadaannya masih asli”.

Jalan berkabut menuju telaga Dringo

Jalan berkabut menuju telaga Dringo

Setelah melewati medan yang cukup berat dan meguras otak serta tenaga, tepat pukul 17.00 kami tiba di Telaga Dringo namun sayangnya ketika kami disana kabut tebal sedang turun, alhasil kami tidak dapat melihat keindahan telaga Dringo. Capek itu pasti namun tak menurunkan niat kami, dengan semangat yang masih berapi semenjak tadi pagi, kamipun mencari camping ground yang dirasa cukup nyaman dan aman untuk mendirikan tenda.

Orang ketiga lagi akur sama tenda

Orang ketiga lagi akur sama tenda

Tak lama, tenda berdiri dan kami segera memasukkan peralatan ke dalam tenda lalu memarkir motor tepat di sebelah tenda. Kami duduk di dalamnya dan mulai merebus air untuk menyeduh kopi. Perbincangan hangat dan tawa renyah di dalam tenda mulai menyelinap. Malam tiba, dingin merayap pelan-pelan dan kami harus memaklumi itu sebab kami sedang berada di ketinggian 2200 Mdpl yang artinya suhu rata-rata adalah 10-15 derajat celcius dan bahkan bisa di bawah angka tersebut.

“Lapar prof?” tanya Nanda, saya iyakan saja sebab memang mulai terasa bahwa perut saya beberapa kali terdengar suara konser. Kamipun mulai memasak lalu makan dengan lahap, saking lahapnya hingga lilin batangan yang tadinya berdiri tegak di sebelah tempat makan ikut masuk ke dalam makanan kami. Hahahaha, itu lilin sepertinya merasa dirinya sebagai sosis beku.

Makanan seadanya

Makanan seadanya sebelum tragedi lilin menjadi sosis beku

Hujan datang, untungnya tenda kami sejak awal telah kami persiapkan untuk hal tersebut. Akhirnya kami hanya berada di dalam tenda mengoceh beberapa hal, membicarakan hidup yang mulai rumit, serta “dia”, masa kecil, Tuhan. Entahlah, semua mengalir di dalam hangatnya tenda. Hujan berhenti, kami keluar dari tenda dan melihat sekeliling. Kabut mulai hilang, dingin masih sangat menusuk, bentuk telaga agak kelihatan di tengah bukit-bukit dan pohon-pohon yang terlihat gelap, hitam. Kami membayangkan banyak hal. Tentang teman, dia yang terkasih, saudara, keluarga yang jauh berada di dalam ramainya kota. Bagaimana keadaan mereka?

Suasana terasa nyaman, ditengah dingin serta kesunyian kami merasakan bahwa inilah ketenangan. Inilah yang disuguhkan alam pada manusia dan inilah yang tak pernah kami dapatkan saat berada di kota. Pelan namun terucap pasti, dalam hati kami mengucapkan segala terimakasih pada Nya atas apa yang telah Ia berikan.

Pagi tiba, saya bangun dan mendapati diri sendiri di dalam sleeping bag di dalam tenda. Saya pun keluar dan menemukan Nanda yang tengah berdiri di depan tenda memandangi telaga. Saya kaget, semesta memberikan kejutan di pukul 7.30 itu, telaga Dringo menunjukkan wujudnya belum lagi ditambah kabut tipis di sekitar telaga yang memberikan kesan samar pada bukit disekitarnya. Hawa dingin seolah tak terasa, saya pun spontan berucap “ini telaganya nda???” dan dia tertawa “hahahaha… Iya prof!!!”.

Tenda, serta ramahnya rerumputan

Tenda, serta ramahnya rerumputan

"Eksis itu penting!" kata sesepuh Landscape Indonesia. :)

“Eksis itu penting!” kata sesepuh Landscape Indonesia. 🙂

Pinggiran telaga Dringo 2

Pinggiran telaga Dringo

Kamipun menikmati pagi itu dengan keheningan, saling diam sejenak dalam damai. Kabut hilang, pemandangan sekitar telaga terlihat sangat jelas serta matahari juga muncul di balik awan di timur telaga. Sungguh, kami tak menyesali tak menemukan sunrise di tempat tersebut karena indahnya semesta yang kami pandangi lebih dari sekedar cukup.

Kami kembali merebus air untuk menyeduh kopi, lalu mencari spot yang bagus untuk mengambil beberapa foto. Waktu berjalan, tengah hari tiba dan makan siangpun tak kami lewatkan. Kesederhanaan di tengah alam, kami hanya merebus 3 bungkus mie instan dan makan dengan nasi yang kami beli kemarin sore. Lapar, makanan enak, kurang ini itu, kehabisan ini itu, semua yang berbentuk materi hanya masalah saat kamu berada di kota. Kami percaya itu.

Alhamdulillah :)

Alhamdulillah 🙂

Petang datang tak terasa. Begitulah waktu, kerap kali menyelinap secepat kilat. Kamipun merapikan semuanya, melipat tenda, mengumpulkan peralatan, membersihkan sampah. Perjalanan ini hampir berakhir, sekali lagi kami memandangi sekeliling dengan nyaman namun agak tak ingin untuk meinggalkan apa yang sedang kami nikmati.

Orang ketiga, terimakasih telah menjadi teman seperjalanan.

Orang ketiga, terimakasih telah menjadi teman seperjalanan.

Cakep ya? iya backgroundnya :D

Cakep ya? iya backgroundnya 😀

Saya, dan :)

Saya, dan 🙂

Ranu Kumbolo versi kami

Ranu Kumbolo versi kami

Telaga Dringo dari atas

Telaga Dringo dari atas

Rasanya tak ingin untuk menemui kota, pusat masalah dan kebisingan terjadi, tapi bagaimanapun juga kami tau arti kembali kala kami beranjak pergi. Setelah kami rasa telah siap untuk melakukan perjalanan pulang, kamipun berangkat. Pesona telaga Dringo memang bukan cerita keindahan dari mulut ke mulut saja. Sekali lagi, terimakasih Tuhan atas semesta.

3 thoughts on “Keindahan di Ketinggian 2200 Mdpl

Leave a comment